Penggawa Marwah Negeri: Afrizal Anjo dan Ikhtiar Menjaga Harga Diri

Nasional4 Dilihat

Pekanbaru, Jurnalhukrim.com  – Di tengah arus zaman yang kian deras membawa pergeseran nilai, masih ada sosok yang bersetia menjadi penjaga gerbang marwah dan jati diri Melayu.

 

Ia adalah Afrizal Anjo, M.Si., lelaki kelahiran Pekanbaru, 1 April 1972, yang kini mengemban amanah sebagai Panglima Tinggi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Penggawa Melayu Riau.

 

Di bawah kepemimpinannya, organisasi ini menjelma sebagai poros pemersatu pelbagai organisasi pemuda dan masyarakat Melayu, baik di tanah Riau maupun di rantau.

 

Bukan pangkat yang ia kejar, bukan pula gemuruh sorak yang ia cari. Afrizal Anjo hadir sebagai simbol keteguhan, menegakkan panji-panji kebudayaan dan martabat Melayu Riau di tengah gelombang politik nasional yang kerap melupakan jasa daerah-daerah penjaga republik.

 

“Riau ini bukan provinsi biasa. Kita ini pewaris sah sejarah republik. Sudah saatnya negara mengakui itu secara konstitusional dan kultural,” ujarnya tegas dalam satu percakapan di sekretariat DPP Penggawa Melayu Riau, di jantung Kota Pekanbaru.

 

Afrizal Anjo menegaskan bahwa aspirasi menjadikan Riau sebagai daerah istimewa bukanlah bentuk kemanjaan politik. Ia justru berpijak dari fakta sejarah yang kerap disapu debu: pengorbanan luar biasa dari kerajaan-kerajaan Melayu yang rela meleburkan diri ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa syarat.

 

“Jangan lupa, Sultan Syarif Kasim II menyumbangkan 13 juta gulden untuk republik ini. Itu bukan sekadar harta, itu simbol totalitas kesetiaan. Tapi apa balasan negara? Kita hanya dapat ucapan terima kasih di pelajaran sekolah,” sindir Afrizal dengan nada getir namun tenang.

 

Ia juga menggarisbawahi bahwa bahasa nasional yang kini dipakai seluruh rakyat Indonesia berasal dari akar bahasa Melayu. Sumbangsih budaya ini, kata Afrizal, tidak bisa dipisahkan dari konstruksi identitas kebangsaan Indonesia itu sendiri.

 

“Bahasa Indonesia itu sejatinya bahasa Melayu yang dimodifikasi. Lalu kenapa orang Melayu justru merasa asing di rumah sendiri?” katanya sembari menggeleng pelan.

 

Kiprah Afrizal Anjo tidak lahir dari ruang steril. Ia mengawali karier profesionalnya sebagai karyawan PT Indah Kiat Pulp & Paper (IKPP) dari 1997 hingga 2001.

 

Kemudian, ia menyeberang menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kabupaten Pelalawan (2002–2013) dan melanjutkan pengabdiannya di Pemerintah Provinsi Riau sebagai Kepala Bidang Operasi Satpol PP Riau sejak 2013 hingga kini.

 

Namun di balik atribut birokrasi, ada semangat kebudayaan yang sejak muda sudah tumbuh dalam jiwanya. Pendidikan formal yang ia tempuh—S1 Manajemen Akuntansi di Universitas Lancang Kuning dan S2 Magister Pemerintahan Daerah di Universitas Riau—menjadi bekal strategis untuk memimpin organisasi berbasis identitas dan perjuangan seperti Penggawa Melayu Riau.

 

Afrizal tidak asing dalam dunia keormasan. Sebelum menjadi Panglima Tinggi Penggawa Melayu Riau, ia menjabat Panglima Muda Laskar Melayu Riau (2013–2017), lalu melanjutkan peran sebagai Panglima DPP Gerakan Pemuda Melayu (2017–sekarang). Bagi Afrizal, gelar “Panglima” bukan simbol kekuasaan, melainkan amanah sebagai benteng budaya.

 

“Panglima dalam tradisi Melayu bukan sekadar pemimpin perang, tapi penjaga harga diri. Saya hanya menjalankan tugas itu, menjaga yang patut dijaga,” ucapnya.

 

Melawan Amnesia Negara

 

Sebagai pemimpin Penggawa Melayu Riau, Afrizal Anjo aktif menggalang konsolidasi berbagai elemen masyarakat dan pemuda Riau yang memiliki semangat perjuangan dan kebudayaan.

 

Organisasi ini menjadi pelindung dan penjuru dari berbagai gerakan moral yang bertujuan menjaga kepentingan masyarakat Melayu agar tidak terpinggirkan dalam arus kebijakan nasional.

 

Ia bersuara lantang dalam berbagai forum, terutama dalam mengawal gerakan Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) yang mendorong pemerintah pusat agar memberikan status keistimewaan bagi Riau.

 

“Kita tidak menuntut istimewa karena ingin diistimewakan. Kita hanya menagih janji sejarah yang terlalu lama dibiarkan menggantung,” katanya, dengan suara serak penuh muatan emosi dan logika sejarah.

 

Bagi Afrizal, keistimewaan bukanlah bentuk istana baru atau jabatan tambahan, melainkan pengakuan formal atas peran sentral Riau dalam membentuk republik.

 

Ia berharap status itu akan menjadi jalan hukum untuk memproteksi kebudayaan, sumber daya alam, dan nilai-nilai Melayu dari eksploitasi yang kerap dilakukan tanpa rasa malu oleh banyak pihak.

 

Di balik segala aktivitas perjuangan dan pergerakan, Afrizal adalah ayah dari tiga anak: M. Syafiq Rizani, Nurul Aisyah Rizani, dan Shyra Zakia Rizani. Bersama sang istri, Mardilayani, Amd.Keb.Farm., ia membangun rumah tangga yang sederhana namun sarat dengan nilai-nilai luhur.

 

“Anak-anak saya saya tanamkan satu nilai: jangan pernah malu jadi orang Melayu. Kita punya warisan yang bahkan dunia hormati,” katanya.

 

Keseharian Afrizal juga akrab dengan masyarakat biasa. Ia hadir di tengah-tengah warga, mengayomi pemuda, merangkul tokoh-tokoh tua, dan menjembatani ketegangan antara adat dan modernitas yang kerap kali saling menggerus.

 

Menuju Jalan Panjang Keistimewaan

 

Kini, bersama Penggawa Melayu Riau, Afrizal Anjo menapaki jalan panjang menuju pengakuan konstitusional bagi Provinsi Riau sebagai daerah istimewa.

 

Baginya, ini bukan perjuangan satu atau dua tahun, melainkan amanah lintas generasi yang harus dijalani dengan kecerdasan, kesabaran, dan keberanian.

 

“Selama negara belum mengakui sumbangsih dan pengorbanan Riau secara layak, kami akan terus berdiri. Tidak untuk menggugat republik, tapi untuk menyempurnakannya,” tegasnya.

 

Dan begitulah Afrizal Anjo: bukan sekadar birokrat atau aktivis, melainkan penjaga denyut nadi kebudayaan Melayu yang tak pernah lelah menyeru, mengingatkan, dan menuntut agar sejarah tidak tinggal sebagai dongeng sunyi. ***

 

Penulis: Azmi bin Rozali

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *